klik untuk ngasih makan hamsterku ya :)

Sabtu, 14 April 2012

NYESEK !!!


            Jeng.. jeng hari yang kutunggu datang setelah penantian 3 bulan dari bulan Januari 2012 kemarin. Yap, hari ini, Jum’at 13 April 2012 tepatnya siang tadi pukul 13.00, aku bersama sahabatku  yang se-proyek skripsi, yang kemana-kemana selalu berdua, yang sama-sama memanggil dengan sebutan yang sama “Mbak Sist”  datang ke kampus dengan tujuan dan niat yang baik, yaitu mengambil revisian yang udah dikumpul dan mungkin udah agak ‘njamur’ dari bulan januari lalu di dosen pembimbing 2 “pak AP”.
            Sebelumnya, jam 8 pagi kami berdua sempat ke BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang ada di Maguwo. Sembari menunggu pukul 13.00 tiba, abis dari BPTP langsung balik ke kost karena cuaca lagi ‘hot-hot’nya dan membuat sangat tidak betah berlama-lama diluar rumah -____- huufftthh.. Disini, di kamar kostku kami sempat “galau” dan menebak-nebak deg-deg an kira-kira siapa sih diantara kita yang bakal dapet revisian hari ini. Aku sih sempet bilang dengan bahasa kebanggaan, bahasa Jawa,
             “Mosok to sing dibalekne cuma wong siji tok? Kan wis suwi..”
            “Lha mbuh ya mbak sist, bapake emang suwi je”, jawab sahabatku itu
 Kemudian dia diam sejenak dan manyahut,
            “Kira-kira sopo yo sing wis dikoreksi? Aku gak trimo nek misale sing dibalekne bukan punya        kita. Aku semalem ngimpi sidang skripsi je...”
            Aku langsung menjawab, “iyo lah ga trimo sing ngumpul pertama aku kok”.
            Well , jam weker udah menunjukkan pukul 12.20 , buru-buru shalat dan cuss ke kampus. Wow setelah nympe kampus, si Bapak masih ISHOMA jadi nunggulah kita .
Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. (ceritanya lagi sepi ini, ga ada orang sama sekali di lab lantai 3)
            Tarrrraaa..  tepat pukul 13.15 yang ditunggu akhirnya datang  juga, Pak AP.. Masuklah kami kedalam ruangan yang ‘antah berantah’,  yang penuh dengan alat dan bahan elektronika dimana-mana. Sementara Pak AP langsung ‘mengobrak-abrik’ isi tasnya dan mengeluarkan 3 lembar kertas yang udah di jepret di ujung pojok kiri atas tanpa cover, dan saya udah berfirasat kalo itu bukan ‘karya’ saya. Benar saja, itu bukan milikku yang kunanti selama ini, melainkan punya sahabatju
            “Punyamu hari senin, Luh”, kata Pak AP
            “Beneran lho pak?? Senin bapak ada waktu jam berapa?” kata saya dengan sedikit dissapointed gitu
            “Iya, saya kosong jam 11...”, jawab Pak AP
            Grrrrrrrrrr rasanya sedih, kesel, pengen marah = NYESEK jadi satu. Betapa tidak, orang yang ngumpulin pertama aku, yang janjian sama bapaknya hari Jum’at siang ini buat minta revisian ya aku, tapi malah yang dikoreksi dan dibalikin punya temen... Ya Allaah, pengen nangis saat itu juga tapi ga enak sama sahabatku yang revisiannya dikembaliin. Ya udahlah, terpaksa tetep senyum di depan dia tapi hati ini sebenarnya mewek parah.. hikkks hhiiiiikkk :’(
            Tapi yaudahlah ya, toh itu juga bukan salah temen saya, itu keputusan Pak AP sendiri. Mencoba berbesar hati dan legowo itu ga gampang, but i’ll try. Hmmmm... jadi kayak gini ya rasanya kalo dosen pembimbing itu sibuk, perjuangan berat kakak-kakak tingkat yang selama ini hanya kulihat seperti orang yang ‘kurang kerjaan’ harus kulewati juga... Hmmm semoga perjuanganku berakhir bahagia dan memuaskan ya,, aamiin J

            Well, malam ini rasanya pengen makan banyak buat ngilangin stress, tapiiiiii.... ahh *lupakan* ,inget badan woyy. Hahahahaa



Pelajaran hari ini :
Tidak ada suatu rezeki yang Allaah berikan kepada seorang hamba yang lebih luas baginya daripada sabar. (HR. Al Hakim)

Aamiin Insya Allaah :) 

Senin, 09 April 2012

Pesan Dari Ayah


             Ayahku hanyalah seorang petani.. Setiap pagi sebelum ayam berkokok dan orang-orang masih terlelap dalam  mimpi-mimpi indah, ayah sudah harus bangun mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawa ke kebun nanti. Kemudian setelah adzan subuh berkumandang ayah mengayuh sebuah perahu menuju sebrang pulau ditemani seorang wanita yang tangguh yaitu ibuku..
          Beberapa puluh tahun yang lalu ayahku seorang pemuda yang rela meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke sebuah desa kecil di timur Indonesia. Ia tinggal di sebuah rumah sambil bekerja kemudian jatuh hati pada anak gadis majikannya yang ketika itu masih belasan tahun. Ia pun langsung melamar dan mereka pun menikah.
                 Aku yakin waktu itu ayah adalah pemuda yang baik sehingga nenek mau menikahkan ayah dengan anak gadisnya yang sekarang telah menjadi ibuku. Dan memang benar karena selama menikah sampai sekarang ayah tidak pernah menyakiti ibu. Kata ibu ketika ayah marah ayah mengambil parang kemudian turun dari rumah gantung di kebun lalu memotong pisang yang ditanam bersama sebagai pelampiasan amarahnya atau pergi menenangkan diri.
             Ibuku rela tuk dibawa oleh ayahku pergi berkebun. Baiasanya waktu dulu di desa itu kalau berkebun mereka harus tinggal di kebun yang jauh dari kampung. Menjaga tanaman kelapa agar tidak diganggu binatang buas. Mereka ke kampung hanya apabila hendak berbelanja seperti gula, garam, teh dan lainnya.
            Buah dari pernikahan mereka melahirkan sembilan orang anak dan salah satunya aku.. Namun keempat saudaraku telah terlebih dahulu dipanggil yang Maha kuasa ketika mereka masih kecil sehingga sekarang tinggal kami berlima dan aku anak kelima dari lima bersaudara. Satu kakak laki-lakiku yang paling tua dan ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi.
            Dahulu ketika aku masih kecil ayah sering berpesan padaku “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Ayahku tidak ingin anak-anaknya seperti dia menjadi petani namun sekolah setinggi-tingginya hingga tergapai mimpiku.
            Ketika hari sudah sore ayah menyuruhku ke guru ngaji tuk belajar mengaji dan ayah selalu berkata “Jangan Jadi Seperti Ayah”. Karena ayahku tidak bisa mengaji sehingga ia berkata begitu.
            “kenapa ayah seperti ini? (tidak bisa mengaji). Karena dahulu orang tua ayah tidak pernah mengajarkan ayah mengaji dan sekarang kalian anak-anak ayah harus bisa mengaji.” Pesan ayah.
            Aku bangga dengan keterbukaan ayah..
            Meskipun ayahku tidak bisa mengaji namun Alhamdulillah aku punya ibu yang bisa mengaji sehingga sering mengajarkan aku dan kakak-kakakku mengaji dirumah selain kami mengaji pada guru. Bahkan sebelum kami tidur ibu sering melantunkan ayat-ayat suci itu mengiringi kami tidur. Dan biasanya ayah sering mendongeng sebelum kami tidur. Aku masih ingat kisah yang sering diceritakan ayah yaitu dua ekor buaya bersaudara yang bernama Hasini dan Hasani. Aku dan kakakku sering meminta ayah menceritakannya berulang-ulang. Dan sekarang setelah aku gede aku merasa itu konyol namun aku tetap mengenangnya.
            Ayahku tegas dan disiplin. Dan juga keras. Namun ia penyayang.. Dari ayah aku belajar banyak hal. Tentang kejujuran.. Keterbukaan dan jiwa penolong yang tinggi.
Ketika aku kecil dulu orang-orang dari kota sering datang ke desa kami tuk berjualan dan ketika hari sudah sore mereka tidak dapat kembali ke kota. Ayah sering memanggil mereka tuk datang ke rumah lalu melayani mereka dengan sepenuh hati.
            Namun kasih sayang ayah dan ibu tak dapat aku rasakan secara langsung lagi sebelum aku dewasa. Ketika aku lulus sekolah menengah pertama dan harus menyebrang lautan melanjutkan sekolahku. Kakak perempuanku diterima menjadi seorang guru di sebuah daerah yang termasuk jauh sehingga ia membawaku tuk menemaninya. Disitu pun aku belajar banyak hal yang membuat aku semakin dewasa.
Ayah mengajarkan aku dan kakak-kakakku banyak hal sehingga kami saling menyayangi. Kakak perempuanku yang telah menjadi guru tidak mau ayahku berbanting tulang lagi tuk membiayai sekolah adik-adiknya lalu dia yang mengambil alihnya.
           Ternyata pesan ayah membuat ia menderita.. Ia harus menahan rindu terhadap semua anak-anaknya yang pergi meninggalkannya demi menggapai angan dan cita mereka. Mengukir asa di rantau orang.
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas aku langsung mencoba menggapai mimpi di Jogjakarta dan kakak-kakakku yang lain di tanah Sulawesi. Aku bahkan tidak pernah bertemu seorang kakak perempuanku enam tahun lamanya. Setelah empat tahun merantau aku sempat pulang namun tidak bertemu dengannya kerna tengah kuliah. Ia selalu berkata rindu ingin bertemu adik bungsunya yang sekarang sudah dewasa.
         Rumah kami yang tadinya penuh dengan keceriaan kini berubah menjadi kaku dan sepi. Hanya kakak laki-lakiku anak tertua yang memilih tuk tidak melanjutkan sekolah namun ia pun sering pergi bekerja sehingga suasana rumah menjadi hampa.
          Begitulah hidup.. kita takkan selamanya bersama orang-orang yang kita cintai.
Diantara anaknya yang pergi, akulah yang jarang pulang. Kata kakakku ketika menelfon, ayah sering mengatakan rindu.. Dan Sekarang ayah sering sakit-sakitan. Mendengar itu aku hanya bisa menangis dan berdo’a memohon kesembuhan pada ayah karena salah satu keinginanku ketika aku menikah nanti ayah harus hadir hingga bisa menggendong cucu dariku agar ayah tahu bahwa aku bahagia.
          Ketika lebaran tiba, kakakku yang sempat pulang menelfonku dan ibuku tak mau berbicara denganku karena apabila ia mendengar suaraku ia akan menangis. Karena akulah anaknya yang bungsu dan paling jauh..
         “Bu… Sejauh manapun anakmu ini pergi, ibu akan selalu ada di hati. Krena aku tahu “The Great Power Of Mom” yang membuat aku seperti ini. Suatu ketika aku akan kembali dan suatu ketika aku akan pergi lagi.. Disaat aku menikah nanti aku harus meninggalkan ibu meski ibu sangat aku cinta. Karena aku harus menjadi pemimpin baru seperti ayah memimpin ibu dahulu. Dan aku yakin ibu akan tersenyum dengan kepergianku yang kedua karena ibu tahu aku bahagia.”Kini aku tengah merajut mimpi di negeri orang.. aku hanya bisa berdo’a agar suatu ketika kita bisa dikumpulkan kembali dalam naungan kasih dan sayang-Nya.
Untuk ayahku..
          “Meski pun pesan ayah jangan jadi seperti Ayah namun aku tetap ingin jadi seperti Ayah.. Yang begitu tangguh mencari nafkah tuk keluarga. Yang rela meninggalkan kampung halaman demi sebuah perubahan dan tak lagi mengharap harta warisan orang tua.”
          “Pesan ayah akan selalu aku ingat dan akan ku pesankan lagi pada anakku kelak tentang keburukanku yang tak patut ditiru.” (Jangan Jadi Seperti Ayah)
Untuk kakak laki-lakiku..
          “Ka, cepatlah menikah.. Adikmu ini sudah rindu ingin menikah masa kakaknya belum juga??”
          “Ketiga kakak perempuanku yang sangat aku sayangi. Semoga tetap dalam lindungan Allah. Yakinlah suatu ketika jika Allah mengizinkan kita akan tetap bertemu. Tetaplah saling menyayangi karena Allah akan mempertemukan kembali orang-orang yang saling menyayangi atas asma-Nya di akhirat kelak.”
           Meskipun ayahku bukanlah seorang yang pandai dalam agama, namun cara dia mendidik dan membesarkan anak-anaknya seperti apa yang diajarkan islam.. Yaitu penuh kasih dan sayang. Dia mengajarkan tuk saling mencintai antara aku dan kakak-kakakku sehingga kita tak saling menyakiti.
          Tanpa disadari, pesan dari ayah mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan kami. Kedua kakakku telah sarjana da seorang kakakku lagi telah lulus PGSD. Kakak laki-lakiku tak mau melanjutkan pendidikannya maka kini tinggal aku yang tengah dalam proses menggapai asa dan harapan.
          Seburuk-buruknya aku, aku ingin menjadi anak yang sholeh agar bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Meskipun itu sulit namun aku harus berusaha tuk bisa. Aku yakin kesholehan bukanlah suatu pencapaian namun sebuah proses. karena Allah menilai pada proses serta azam seseorang dan hasilnya akan didapatkan di akhirat kelak.
Suatu ketika jika aku punya isteri nanti, aku ingin seseorang yang setia seperti ibuku yang tetap berada disamping ayahku melewati suka duka hidup. Tetap ada saat ayahku berada dalam keterpurukan dan setia menemaninya hingga menua..
          

        Untuk kalian yang dekat dengan ayah dan ibu kalian.. Katakanlah bahwa kalian mencintai mereka sebelum semuanya terlambat. Ciumlah tangan mereka dan lakukanlah yang terbaik sebelum kalian jauh… :)



dikutip dari Fastabiqul Khayrat

        

Senin, 02 April 2012

Kala Cinta Menyapa

"Sebuah kisah tentang perjalanan seorang pemuda dalam mencari cinta yang sesungguhnya serta keikhlasan seorang wanita dalam menerima takdir hidupnya..."


                 Dahulu di sebuah desa yang makmur terdapat seorang gadis desa bernama Syahdiya yang cantik jelita.. Banyak pemuda di desa tersebut jatuh cinta pada kecantikannya. Namun dia berbeda dengan gadis desa lainnya yang terkesan lugu dan senang tuk di rayu. Dia tahu bahwa banyak pemuda yang mencari simpatinya itu hanya berpandang pada kecantikannya semata. Bahkan di antara pemuda desa mereka saling bertarung untuk mendapatkan cinta dari Syahdiya.
                Lalu suatu hari datang seorang pemuda dari kota ke desa tersebut. Dia seorang mahasiswa jurusan kedokteran yang tengah mengadakan penelitian. Setelah beberapa hari menginap di desa itu, kabar tentang kecantikan gadis bernama Syahdia itu pun terngiang di telinganya. Dia penasaran lalu berniat menjumpainya. Pemuda itu lalu bertanya pada seorang bapak paruh baya, tuan rumah yang ia tempati.
                “Jika kamu ingin menjumpainya, malam ini shalatlah di masjid desa. Biasanya dia shalat maghrib di masjid tersebut kemudian dia tetap berada di masjid mengkaji siroh sahabat bersama beberapa temannya menanti datangnya waktu 'Isya. Juga biasanya ia mengenakan mukena hitam panjang”, kata bapak paruh baya tersebut.
                Malam ini pemuda itu hendak shalat di masjid desa sekaligus ingin melihat wanita yang kabarnya cantik jelita itu. Seusai shalat maghrib, para warga yang bersholat disitu pun pulang maka tinggallah Syahdiya bersama tiga orang temannya tengah mengkaji siroh sahabbyyah.
               Pemuda Kota itu pun turut menunggu namun ia tak bisa melihat wajah Sahdiya karena hijab (Kain putih pembatas lelaki dan wanita) menutupi sehingga ia memutuskan untuk menunggu hingga ba'da I'sya ketika Syahdiya pulang. Kerna tak tahu hendak melakukan apa di dalam masjid, dia pun mengambil sebuah buku di dalam lemari masjid untuk dibaca dan ternyata buku yang diambilkannya tersebut adalah Al-Qur'an dan terjemahannya. Dan pada saat itu ia membuka tepat pada surat An-Nur. lalu matanya tertuju pada Ayat yang ke 26.
          “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (QS AN-Nur : 26)”
         Tangannya lalu bergetar setelah membaca mahzab Allah tersebut. Begitu pun hatinya. Dia yang minim akan pengetahuan agama itu semakin penasaran terhadap ayat Allah yang satu itu. Perlahan Ia menutup kitab itu lalu mengangkat kepalanya tiba-tiba kain putih yang menjadi hijab itu tertiup oleh hembusan angin yang begitu sejuk. Tepat di depan pandangannya seorang wanita menunduk membacakan sebuah kitab. Kerna batinnya merasa ditatap, wanita bermukena hitam itu lalu mengangkat wajahnya menatap kedepan melihat seorang pemuda yang menatapnya. Dia lalu menunduk malu dan Semilir angin pun berhenti maka hijab pun menutupi pandangan itu.
            Subhanallah.. Baru kali itu dia menatap wanita yang begitu sejuk dalam tatapan. Dia tak pernah menjumpai wanita semacam itu di kota.
            Besoknya pemuda itu lalu meminta untuk diantarkannya ke rumah gadis tersebut oleh bapak pemilik rumah yang ia singgahi. Sang bapak pun menyuruh anak perempuannya yang masih gadis juga untuk mengantarkan pemuda Kota itu ke rumah dimana Syahdiya tinggal. Hanya sebuah rumah yang beratapkan Rumbia, berdindingkan sulaman bambu dan berlantaikan tanah.
          Sesampai mereka di rumah tersebut, disambutlah dengan senyuman manis oleh Sahdiya. Ia mempersilahkan mereka masuk lalu di hidangkan sebuah teh hangat. Kemudian Ia menyuruh mereka untuk menunggu sebentar setelah mendengar panggilan dari seorang wanita tua terhadapnya. Ia lalu ke belakang menemui wanita tersebut lalu menyahutinya. (Apabila kita dipanggil oleh orangtua sebaiknya kita menemui mereka baru menyehutinya)”
           “Labayka ya Jaddah??”  (Ada apa Nek), tanyanya dengan lembut.
Rupanya nenek tersebut meminta untuk dimandikan. Dialah satu-satunya keluarga yang dipunya Syahdiya. Seorang nenek yang sudah sangat tua. Ia hidup hanya bersama nenek tersebut dari kecil setelah kedua orangtuanya meninggal. Dialah yang memandikan nenek tersebut setiap pagi dan petang. Membuang hajatnya, menemaninya tidur dan sebagainya. (Ingat..!! suatu ketika orangtua kita akan seperti itu. Dan kita harus ikhlas melayaninya seperti mereka melayani kita semasa kecil dahulu)
            Sementara di depan pemuda tersebut menatap-natap isi rumah yang jauh dari kesederhanaan itu. Kemudian datanglah Syahdiya setelah usai menyelesaikan tugasnya. Lidia, gadis yang menghantarkan pemuda kota itu lalu menjelaskan kedatangan mereka. Katanya pemuda tersebut ingin berkenalan dengannya karena dia baru di desa tersebut. Syahdiya pun menyambut dengan senang hati namun tidak berlebihan.
              Pemuda kota yang mempunya senyum manis dengan sebuah lesung pipit di pipi kanannya tersebut lalu mengulurkan tangannya menyampaikan namanya.
              “Roman.” Singkat pemuda itu.
               Syahdiya lalu menelungkup kedua tangannya seraya menunduk.
             “Ana Ma'rifatus Syahdiya.”
             Terjadilah percakapan singkat antara mereka. Pemuda bernama Roman itu semakin Yakin dengan wanita tersebut. Lewat tutur katanya yang lembut kesopanan serta perangainya dalam bersikap membuat pemuda kota itu jatuh hati padanya.
Besok pemuda itu sudah harus berangkat lagi ke kota tempat ia belajar. Ia berniat setelah lulus dari kuliah nanti dia hendak kembali ke desa tersebut untuk melamar wanita yang telah menawan hatinya itu.
             Setelah dua tahun kemudian pemuda kota itu kembali lagi ke desa tersebut dengan segala persiapan diri yang telah matang. Dia pun mulai mempelajari makna dari surat An-Nur ayat 26 serta islam yang sesungguhnya. Serta senantiasa menjalankan sunnah Rosulullah dalam kesehariannya. Dia berniat mengkhitbah Syahdiya wanita yang dipilihnya semata karena Allah..
             Namun ketika ia datang sudah tak ada lagi Syahdiya di desa tersebut.. Ketika ia menanyakan pada warga, mereka hanya diam kemudian pergi meninggalkannya. Ia kemudian menemui bapak paruhbaya ayah ankatnya ketika menginap dirumahnya tahun lalu..
Bapak itu lalu mengatakan bahwa Syahdiya mengidap penyakit kusta sehingga dia di asingkan di hutan belakang kampung tersebut dekat sebuah air terjun.
            Pemuda itu lalu menangis terseduh terhempas di pelukan bapak itu. Dia tetap menginginkan untuk dipertemukan dengan Syahdiya. Lalu bapak itu pun menghantarkannya menuju hutan dimana wanita itu di asingkan. Disana Ia di asingkan di sebuah gubuk tua sendirian setelah sang nenek yang dirawatnya meninggal. Kalau pun ada warga yang menjenguknya, mereka agak menjauh karena takut tertular penyakit yang dialaminya.
             Ketika datang Roman bersama bapak yang mengantarnya, disambutlah Syahdiya dengan senyuman tulus seperti biasanya seolah tak ada beban dalam hidupnya. Ia lalu mempersilahkan mereka duduk di tempat khusus tamu.
             Tanpa berbasa-basi Roman langsung menyampaikan pada Syahdiya bahwa dia hendak mengkhitbahnya. Ma'rifatus Syahdiya lalu menunduk haru. Dahulu begitu banyak pemuda yang mendekatinya mengharapkan cinta dari dirinya namun setelah penyakit menular itu menyerang dirinya mereka menjauh. Dan kini datang seorang pemuda dengan wajah penuh ketulusan menawarkan sebuah ikatan suci padanya. Namun ia tak bisa menerimanya.
             “Bagaimana mungkin aku menerima pinangan antum ya akhie. Aku tidak ingin menzolimi akhun. Aku yakin antum telah mendengar apa yang menimpa diriku ini.” Ungkap Syahdiya.
             “Seperti apapun penyakit yang ukhti derita, ana tidak peduli..” Tegas Roman.
             “Cinta yang antum agungkan telah membutakan mata antum sehingga tak dapat melihat lebih jauh.. Apa yang antum harapkan dari diriku? Aku bahkan tidak bisa memberikan apa-apa pada diri antum.”  jawab Syahdiya
             “Kesetiaan ya ukhtie” singkat Roman.
              “Kesetiaan saja tak cukup dalam menjalin sebuah bahtera.” Syahdiya lalu menunduk dengan airmata yang berlinang terharu akan itikad pemuda itu. “Batinmu pun membutuhkan cinta.. sebuah cinta yang nyata. Dan aku tak bisa memenuhinya. Di luar sana masih banyak wanita yang lebih baik dari diriku. Yang bisa memberimu keturunan dan cinta yang sepenuhnya. Pergilah.... Biarkanlah aku disini dengan derita ini. Ini telah menjadi takdir Allah Untukku." ungkap Syahdiya dengan linangan air mata di pipi putihnya.
            Roman pun menjawab “Walillahi ya ukhtie.. Kamulah wanita yang aku pilih atas nama Allah... Jika kerna cantikmu, banyak wanita yang cantik di dunia ini. Aku siap berpuasa untuk itu ya Ukhtie.”
             Syahdiya tetap tak mau menerima pinangan pemuda itu sebab dia tahu akan menjadi haram jika pernikahannya terjadi sebab akan ada yang terzolimi dengan pernikahan tersebut.
              Namun pemuda itu tetap bertahan pada pendiriannya sebab dia yakin akan lebih baik jika kita bersabar. Dia lalu kembali ke kota melanjutkan studynya di spesialis jantung. Dia kuliah sambil bekerja di sebuah Rumah Sakit Umum dan uangnya ditabung untuk membiayai Syahdiya berobat nantinya. Dua tahun kemudian pemuda yang telah diangkat menjadi dokter spesialis jantung itu datang ke desa itu lagi dengan niat tulusnya hendak melamar wanita yang dipilihnya karena keshalihannya tersebut.
              Dia lalu menemui bapak angkatnya lagi untuk dipertemukan dengan Syahdiya namun bapak tersebut lalu membawanya ke pusara yang Nisannya bertuliskan nama Ana Ma'rifatus Syahdiya. Dia lalu menangis terhempas tak berdaya.. Tak tahu apa yang hendak dilakukan olehnya..

              Begitulah,, kala cinta telah menyapa, kita rela melakukan apapun demi mendapatkan cinta itu. Mungkin rencana kita telah baik, namun perlu di ingat bahwa rencana Allah lebih baik lagi. Belum tentu apa yang kita anggap baik dimata kita baik pula dimata Allah.. Dia telah mempersiapkan yang lebih baik untuk kita. Jikalau kita mencinta  janganlah sampai kita merasa memiliki kerna apabila yang kita cintai tiada kita akan merasa kehilangan yang teramat sangat.. Ikhlaskanlah segalanya pada Allah dan yakin akan janjinya.. Apapun yang diberikan pada kita itulah yang terbaik untuk kita. Semoga kita mencintai hanya atas Asma-Nya. Aamiin 


dikutip dari Fastabiqul Khayrat dengan beberapa perubahan