"Sebuah kisah tentang perjalanan seorang pemuda dalam mencari cinta yang sesungguhnya serta keikhlasan seorang wanita dalam menerima takdir hidupnya..."
Dahulu di sebuah desa yang makmur terdapat seorang gadis desa bernama Syahdiya
yang cantik jelita.. Banyak pemuda di desa tersebut jatuh cinta pada kecantikannya.
Namun dia berbeda dengan gadis desa lainnya yang terkesan lugu dan senang tuk
di rayu. Dia tahu bahwa banyak pemuda yang mencari simpatinya itu hanya
berpandang pada kecantikannya semata. Bahkan di antara pemuda desa mereka
saling bertarung untuk mendapatkan cinta dari Syahdiya.
Lalu suatu hari datang seorang pemuda dari kota ke desa tersebut. Dia seorang
mahasiswa jurusan kedokteran yang tengah mengadakan penelitian. Setelah
beberapa hari menginap di desa itu, kabar tentang kecantikan gadis bernama
Syahdia itu pun terngiang di telinganya. Dia penasaran lalu berniat
menjumpainya. Pemuda itu lalu bertanya pada seorang bapak paruh baya, tuan
rumah yang ia tempati.
“Jika kamu ingin menjumpainya, malam ini shalatlah di masjid desa. Biasanya dia
shalat maghrib di masjid tersebut kemudian dia tetap berada di masjid mengkaji
siroh sahabat bersama beberapa temannya menanti datangnya waktu 'Isya. Juga
biasanya ia mengenakan mukena hitam panjang”, kata bapak paruh baya tersebut.
Malam ini pemuda itu hendak shalat
di masjid desa sekaligus ingin melihat wanita yang kabarnya cantik jelita itu.
Seusai shalat maghrib, para warga yang bersholat disitu pun pulang maka
tinggallah Syahdiya bersama tiga orang temannya tengah mengkaji siroh sahabbyyah.
Pemuda Kota itu pun turut menunggu
namun ia tak bisa melihat wajah Sahdiya karena hijab (Kain putih pembatas
lelaki dan wanita) menutupi sehingga ia memutuskan untuk menunggu hingga ba'da
I'sya ketika Syahdiya pulang. Kerna tak tahu hendak melakukan apa di dalam
masjid, dia pun mengambil sebuah buku di dalam lemari masjid untuk dibaca dan
ternyata buku yang diambilkannya tersebut adalah Al-Qur'an dan terjemahannya.
Dan pada saat itu ia membuka tepat pada surat An-Nur. lalu matanya tertuju pada
Ayat yang ke 26.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita
yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan
oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia
(surga) (QS AN-Nur : 26)”
Tangannya lalu bergetar setelah membaca mahzab Allah tersebut. Begitu pun
hatinya. Dia yang minim akan pengetahuan agama itu semakin penasaran terhadap
ayat Allah yang satu itu. Perlahan Ia menutup kitab itu lalu mengangkat
kepalanya tiba-tiba kain putih yang menjadi hijab itu tertiup oleh hembusan
angin yang begitu sejuk. Tepat di depan pandangannya seorang wanita menunduk
membacakan sebuah kitab. Kerna batinnya merasa ditatap, wanita bermukena hitam
itu lalu mengangkat wajahnya menatap kedepan melihat seorang pemuda yang
menatapnya. Dia lalu menunduk malu dan Semilir angin pun berhenti maka hijab
pun menutupi pandangan itu.
Subhanallah.. Baru kali itu dia menatap wanita yang begitu sejuk dalam
tatapan. Dia tak pernah menjumpai wanita semacam itu di kota.
Besoknya pemuda itu lalu meminta untuk diantarkannya ke rumah gadis tersebut
oleh bapak pemilik rumah yang ia singgahi. Sang bapak pun menyuruh anak
perempuannya yang masih gadis juga untuk mengantarkan pemuda Kota itu ke rumah
dimana Syahdiya tinggal. Hanya sebuah rumah yang beratapkan Rumbia, berdindingkan
sulaman bambu dan berlantaikan tanah.
Sesampai mereka di rumah tersebut, disambutlah dengan senyuman manis oleh
Sahdiya. Ia mempersilahkan mereka masuk lalu di hidangkan sebuah teh hangat.
Kemudian Ia menyuruh mereka untuk menunggu sebentar setelah mendengar panggilan
dari seorang wanita tua terhadapnya. Ia lalu ke belakang menemui wanita
tersebut lalu menyahutinya. (Apabila kita dipanggil oleh orangtua sebaiknya
kita menemui mereka baru menyehutinya)”
“Labayka ya Jaddah??” (Ada apa Nek), tanyanya dengan lembut.
Rupanya nenek tersebut meminta untuk
dimandikan. Dialah satu-satunya keluarga yang dipunya Syahdiya. Seorang nenek
yang sudah sangat tua. Ia hidup hanya bersama nenek tersebut dari kecil setelah
kedua orangtuanya meninggal. Dialah yang memandikan nenek tersebut setiap pagi
dan petang. Membuang hajatnya, menemaninya tidur dan sebagainya. (Ingat..!!
suatu ketika orangtua kita akan seperti itu. Dan kita harus ikhlas melayaninya
seperti mereka melayani kita semasa kecil dahulu)
Sementara di depan pemuda tersebut menatap-natap isi rumah yang jauh dari
kesederhanaan itu. Kemudian datanglah Syahdiya setelah usai menyelesaikan
tugasnya. Lidia, gadis yang menghantarkan pemuda kota itu lalu menjelaskan
kedatangan mereka. Katanya pemuda tersebut ingin berkenalan dengannya karena
dia baru di desa tersebut. Syahdiya pun menyambut dengan senang hati namun
tidak berlebihan.
Pemuda kota yang mempunya senyum manis dengan sebuah lesung pipit di pipi
kanannya tersebut lalu mengulurkan tangannya menyampaikan namanya.
“Roman.” Singkat pemuda itu.
Syahdiya lalu menelungkup kedua tangannya seraya menunduk.
“Ana Ma'rifatus Syahdiya.”
Terjadilah percakapan singkat antara mereka. Pemuda bernama Roman itu semakin
Yakin dengan wanita tersebut. Lewat tutur katanya yang lembut kesopanan serta
perangainya dalam bersikap membuat pemuda kota itu jatuh hati padanya.
Besok pemuda itu sudah harus
berangkat lagi ke kota tempat ia belajar. Ia berniat setelah lulus dari kuliah
nanti dia hendak kembali ke desa tersebut untuk melamar wanita yang telah
menawan hatinya itu.
Setelah dua tahun kemudian pemuda kota itu kembali lagi ke desa tersebut dengan
segala persiapan diri yang telah matang. Dia pun mulai mempelajari makna dari
surat An-Nur ayat 26 serta islam yang sesungguhnya. Serta senantiasa
menjalankan sunnah Rosulullah dalam kesehariannya. Dia berniat mengkhitbah
Syahdiya wanita yang dipilihnya semata karena Allah..
Namun ketika ia datang sudah tak ada lagi Syahdiya di desa tersebut.. Ketika ia
menanyakan pada warga, mereka hanya diam kemudian pergi meninggalkannya. Ia
kemudian menemui bapak paruhbaya ayah ankatnya ketika menginap dirumahnya tahun
lalu..
Bapak itu lalu mengatakan bahwa
Syahdiya mengidap penyakit kusta sehingga dia di asingkan di hutan belakang
kampung tersebut dekat sebuah air terjun.
Pemuda itu lalu menangis terseduh terhempas di pelukan bapak itu.
Dia tetap menginginkan untuk dipertemukan dengan Syahdiya. Lalu bapak itu pun
menghantarkannya menuju hutan dimana wanita itu di asingkan. Disana Ia di
asingkan di sebuah gubuk tua sendirian setelah sang nenek yang dirawatnya
meninggal. Kalau pun ada warga yang menjenguknya, mereka agak menjauh karena
takut tertular penyakit yang dialaminya.
Ketika datang Roman bersama bapak yang mengantarnya, disambutlah
Syahdiya dengan senyuman tulus seperti biasanya seolah tak ada beban dalam
hidupnya. Ia lalu mempersilahkan mereka duduk di tempat khusus tamu.
Tanpa berbasa-basi Roman langsung menyampaikan pada Syahdiya bahwa dia hendak
mengkhitbahnya. Ma'rifatus Syahdiya lalu menunduk haru. Dahulu begitu banyak
pemuda yang mendekatinya mengharapkan cinta dari dirinya namun setelah penyakit
menular itu menyerang dirinya mereka menjauh. Dan kini datang seorang pemuda
dengan wajah penuh ketulusan menawarkan sebuah ikatan suci padanya. Namun ia
tak bisa menerimanya.
“Bagaimana mungkin aku menerima pinangan antum ya akhie. Aku tidak ingin
menzolimi akhun. Aku yakin antum telah mendengar apa yang menimpa diriku ini.”
Ungkap Syahdiya.
“Seperti apapun penyakit yang ukhti derita, ana tidak peduli..” Tegas Roman.
“Cinta yang antum agungkan telah membutakan mata antum sehingga tak dapat
melihat lebih jauh.. Apa yang antum harapkan dari diriku? Aku bahkan tidak bisa
memberikan apa-apa pada diri antum.” jawab Syahdiya
“Kesetiaan ya ukhtie” singkat Roman.
“Kesetiaan saja tak cukup dalam menjalin sebuah bahtera.” Syahdiya lalu
menunduk dengan airmata yang berlinang terharu akan itikad pemuda itu. “Batinmu
pun membutuhkan cinta.. sebuah cinta yang nyata. Dan aku tak bisa memenuhinya.
Di luar sana masih banyak wanita yang lebih baik dari diriku. Yang bisa
memberimu keturunan dan cinta yang sepenuhnya. Pergilah.... Biarkanlah aku
disini dengan derita ini. Ini telah menjadi takdir Allah Untukku." ungkap Syahdiya dengan linangan air mata di pipi putihnya.
Roman pun menjawab “Walillahi ya ukhtie.. Kamulah wanita yang aku pilih atas nama Allah... Jika
kerna cantikmu, banyak wanita yang cantik di dunia ini. Aku siap berpuasa untuk
itu ya Ukhtie.”
Syahdiya tetap tak mau menerima pinangan pemuda itu sebab dia tahu akan menjadi
haram jika pernikahannya terjadi sebab akan ada yang terzolimi dengan pernikahan
tersebut.
Namun pemuda itu tetap bertahan pada pendiriannya sebab dia yakin akan lebih
baik jika kita bersabar. Dia lalu kembali ke kota melanjutkan studynya di
spesialis jantung. Dia kuliah sambil bekerja di sebuah Rumah Sakit Umum dan
uangnya ditabung untuk membiayai Syahdiya berobat nantinya. Dua tahun kemudian
pemuda yang telah diangkat menjadi dokter spesialis jantung itu datang ke desa
itu lagi dengan niat tulusnya hendak melamar wanita yang dipilihnya karena
keshalihannya tersebut.
Dia lalu menemui bapak angkatnya lagi untuk dipertemukan dengan Syahdiya namun
bapak tersebut lalu membawanya ke pusara yang Nisannya bertuliskan nama Ana
Ma'rifatus Syahdiya. Dia lalu menangis terhempas tak berdaya.. Tak tahu apa yang
hendak dilakukan olehnya..
Begitulah,, kala cinta telah menyapa, kita rela melakukan apapun demi
mendapatkan cinta itu. Mungkin rencana kita telah baik, namun perlu di ingat
bahwa rencana Allah lebih baik lagi. Belum tentu apa yang kita anggap baik
dimata kita baik pula dimata Allah.. Dia telah mempersiapkan yang lebih baik
untuk kita. Jikalau kita
mencinta janganlah sampai kita merasa memiliki kerna apabila yang kita cintai
tiada kita akan merasa kehilangan yang teramat sangat.. Ikhlaskanlah segalanya
pada Allah dan yakin akan janjinya.. Apapun yang diberikan pada kita itulah
yang terbaik untuk kita. Semoga kita mencintai hanya atas Asma-Nya. Aamiin
dikutip dari Fastabiqul Khayrat dengan beberapa perubahan